Senin 13 Jun 2011 13:03 WIB

Bagaimana Seharusnya Bank Syariah Menghadapi Pembiayaan Bermasalah?

Perbankan syariah
Perbankan syariah

Pertanyaan :

Assalamu'alaikum

Saya adalah mantan pegawai bank syariah baik itu BPR maupun Bank Umum.Saya ingin cerita pengalaman saja.Ketika itu, ada pembiayaan dimana saya sebagai AO nya, dan setelah beberapa bulan berjalan, ada debitur yang macet. Sesuai dengan kesepakatan maka akan dikenai denda dimana denda tersebut akan diserahkan pada yayasan sosial untuk kepentingan umat. Namun dalam perjalanannya ketika saya sudah mengundurkan diri, debitur tersebut ditagih karena selama 4 bulan tidak dapat memenuhi kewajibannya dengan cara yang kasar dan tidak sopan.

Yang ingin saya tanyakan adalah bagaimana seharusnya bank syariah dalam menyelesaikan masalah hutang yang tidak sanggup dibayar oleh debitur ?  Seandainya debitur tidak mempunyai apa-apa, bukannya ada hadits yang berisi jika kau memberikan utang (pinjaman) kepada orang lain, dan orang tersebut tidak mampu mengembalikan maka kita mempunyai kewajiban untuk membantunya dan balasan dari Allah adalah sebaik-baik balasan.

Mohon pencerahannya masalah ini. Terimakasih.

Wassalam

-Danang, SOLO-

Wa'alaikumussalam wr wb

 

Pak Danang yang dirahmati Allah, kita harus melihat secara utuh pada kasus tersebut, supaya kita tidak terjebak pada justifikasi yang kurang tepat.

Pertama, Allah SWT memerintahkan kita untuk berkomitmen terhadap akad yang sudah disepakati bersama (QS 5 : 1). Apapun kondisi yang dihadapi, kita harus berusaha memenuhi komitmen tersebut.

Kedua, dalam praktek perbankan syariah, sesuai dengan aturan Bank Indonesia, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan ketika bank menghadapi pembiayaan bermasalah. Biasanya pada tunggakan pertama, pihak bank akan menelepon. Pada tunggakan kedua, pihak bank akan memanggil nasabah yang bersangkutan. Jika ternyata pembiayaan tersebut masih bermasalah, maka akan masuk dalam kategori kolektabilitas dua, dan biasanya pihak bank menawarkan rescheduling utang.

Jika masih tidak lancar juga, maka pada tahap kolektabilitas empat, bank menawarkan eksekusi jaminan nasabah. Jika ternyata jaminannya tidak laku, maka bank dapat mengenakan write-off, yaitu "hapus buku" atau bahkan "hapus tagih", dimana nasabah maupun ahli warisnya tidak lagi terkena kewajiban utangnya.

Yang harus diperhatikan, uang yang digunakan bank syariah pada dasarnya adalah uang milik nasabah penabung (DPK). Sehingga, secara moral dan aturan, pihak bank syariah juga harus mempertanggungjawabkannya. Namun demikian, pihak bank syariah dilarang keras untuk menggunakan cara-cara yang kasar dan tidak sesuai dengan akhlak Islami di dalam menagih utang tersebut.

Ketiga, terkait dengan meringankan dan menghapus beban utang, itu adalah firman Allah dalam QS 2 : 280. Untuk memahaminya, ada baiknya kita merujuk pada HR Ibnu Sirin, dimana pada saat itu terjadi perselisihan antara dua orang, yang kemudian ditengahi oleh sahabat yang bernama Syuraih ra. Mereka berselisih soal utang yang tidak dapat dibayarkan. Syuraih ra memerintahkan orang yang berutang tersebut untuk ditahan, tetapi sahabat lain ada yang membela dan mengatakan bahwa orang yang berutang tersebut dalam keadaan susah dengan mengutip pada QS 2 : 280.

Namun Syuraih ra menjawab, ayat itu terkait dengan utang berbasis riba, sementara dalam ayat lain, yaitu QS 4 : 58, Allah juga memerintahkan kita untuk memenuhi amanah atau hak orang lain, dalam hal ini hak orang yang memberi utang. Akan tetapi, jika orang yang memberi utang itu mengikhlaskan, maka itu lebih baik baginya.

Hikmah yang bisa kita ambil adalah bahwa yang namanya utang itu adalah pilihan terakhir, jika opsi-opsi lain tidak mungkin. Ketika kita harus berutang, maka harus sesuai kemampuan dan kita pun harus memiliki niat untuk mengembalikannya. Insya Allah, Allah akan memudahkan jalan kita (al-hadits). Jika tidak ada niat melunasi, maka pasti tidak akan terlunasi. Jangan sampai kita terkena penyakit ghalabatid dayn, yaitu terlilit utang dan tidak ada kesanggupan untuk membayarnya. Karena utang yang tidak terlunasi, akan menghalangi seseorang menuju surga.

Adapun bagi pihak pemberi utang, jika memang orang yang berutang sudah tidak mampu lagi melunasi utangnya karena sebab-sebab di luar kemampuannya, dan bukan karena penyimpangan yang dilakukannya, maka menyedekahkan utang tersebut jauh lebih baik dan lebih utama. Wallahu a'lam.

Wassalaamualaikum wr wb

Laily Dwi Arsyianti

 

Rubrik konsultasi ini diasuh oleh Dr Irfan Syauqi Beik, Program Studi Ekonomi Syariah Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB. Kirimkan pertanyaan Anda ke: [email protected]

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement