REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tepatnya kemarin, Rabu (24/1/2024), 20 tahun lalu dikeluarkan fatwa tentang bunga bank yang ditetapkan haram. Penetapan haramnya bunga bank tersebut ditandai dengan keluarnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga (Interest/Fa'idah) tertanggal 24 Januari 2004.
Fatwa yang ditandatangani oleh Ketua Komisi Fatwa MUI saat itu yakni KH Ma'ruf Amin yang kini merupakan Wakil Presiden RI serta Sekretaris yakni Hasanuddin, menetapkan tiga poin berkaitan dengan bunga bank.
1) Komisi Fatwa menetapkan pengertian bunga bank dan juga riba.
Bunga (interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam
transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara
pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.
Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yag diperjanjikan sebelumnya. Dan inilah yang disebut riba nasi’ah.
2) Hukum bunga.
Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.
Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
3) Komisi Fatwa MUI juga menetapkan tentang Bermu’amalah dengan Lembaga Keuangan Konvensional.
Dalam penjabarannya, MUI menetapkan untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan Lembaga Keuangan Syari’ah dan mudah dijangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga. Sedangkan, untuk wilayah yang belum ada kantor /jaringan Lembaga Keuangan Syariah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat/hajat.
Adapun hal yang melatarbelakangi keluarnya Fatwa MUI tersebut karena banyak umat Islam Indonesia yang mempertanyakan status hukum bunga (interst/fa’idah) yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (al-qardh) atau utang piutang (al-dayn), baik yang dilakukan oleh lembaga keuangan, individu maupun lainnya. Umat juga menilai perlunya Fatwa tersebut demi memastikan kenyamanan dalam menggunakan transaksi keuangan.
Karena itu, demi memberi kepastian umat maka hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa seIndonesia pada 6 Desember 2003 telah menfatwakan tentang status hukum bunga. Karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang bunga untuk dijadikan pedoman bagi umat, sehingga lahirlah Fatwa tentang haramnya bunga bang tersebut.
Dalam proses mengeluarkan Fatwa tersebut, Komisi Fatwa MUI juga merujuk pada berbagai sumber literatur mulai dari Al Quran, yakni mengutip surat Ali Imran ayat 130 yang menjelaskan Allah mengharamkan riba, begitu juga sejumlah hadits Nabi Muhammad SAW yang menyebut Rasulullah melaknat orang yang memakan dan memberikan riba.
Tak hanya itu, dimasukkan pula Ijma’ ulama tentang keharaman riba dan disebut riba adalah salah satu dosa besar (kaba’ir). MUI juga memperhatikan pendapat para ulama ahli fiqih mengenai bunga yang dikenakan dalam transaksi pinjaman telah memenuhi kriteria riba dan diharamkan.
Antara lain Imam Nawawi dalam Al-Majmu, Ibn al-‘Araby dalam Ahkam al-Qur’an, Al-Sarakhsyi dalam Al-Mabsuth, Ar-Raghib al-Isfahani dalam AlMufradat fi Gharib al-Qur’an, Muhammad Ali al-Shabuni dalam Rawa-i’ al-Bayan, Muhammad Abu Zahrah dalam Buhuts fi al-Riba, Yusuf al-Qardhawy dalam Fawa’id alBunuk, serta Wahbah al-Zuhaily dalam Al-Fiqh alIslamy wa Adillatuh.
Komifi Fatwa MUI juga memperhatikan ketetapan akan keharaman bunga bank oleh berbagai Forum Ulama Internasional. Ditambah dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga tidak sesuai dengan syari’ah serta berbagai keputusan sidang sejumlah lembaga lainnya.