Jumat 31 Mar 2023 17:59 WIB

IMF Pertanyakan Risiko CBDC Pada Perbankan Syariah

Perbankan syariah tidak menggunakan konsep bunga dan gharar.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Lida Puspaningtyas
Representasi mata uang virtual Ripple, Bitcoin, Etherum, dan Litecoin terlihat pada motherboard PC dalam gambar ilustrasi ini, 14 Februari 2018.
Foto: REUTERS/Dado Ruvic
Representasi mata uang virtual Ripple, Bitcoin, Etherum, dan Litecoin terlihat pada motherboard PC dalam gambar ilustrasi ini, 14 Februari 2018.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- International Monetary Fund (IMF) mengkhawatirkan penerapan Central Bank Digital Currency (CBDC) di beberapa negara yang menggunakan prinsip keuangan syariah. Sebenarnya, sistem keuangan syariah hanya menyumbang kurang dari tiga persen terhadap keuangan global.

Namun, secara sistemik sektor tersebut sangat vital di 15 yurisdiksi, yang nilainya mencapai 15 persen dari total sistem perbankan. Bahkan, ada dua negara yang secara total menggunakan sistem perbankan syariah, yakni Iran dan Sudan yang menggunakan prinsip syariah dalam merumuskan kebijakan moneternya.

Baca Juga

“Dari 34 negara yang mempraktikan sistem perbankan ganda, yakni konvensional dan syariah, 10 negara di antaranya sudah bereksperimen dengan CBDC retail dan wholesale CBDC, di antaranya adalah Iran,” jelas IMF dikutip di Coin Geek, Jumat (31/3/2023).

Pelaksanaan kebijakan moneter di wilayah yang menganut sistem perbankan syariah tidak berbeda dengan sistem perbankan konvensional. Namun, kebutuhan untuk patuh terhadap prinsip syariah akan menjadi tantangan dalam implementasi kebijakan moneter yang akan diambil.

 

“Mekanisme manajemen likuiditas konvensional—pasar antar bank, instrumen keuangan pasar sekunder, jendela diskon bank sentral dan Lender of Last Resort (LOLR)—yang didasarkan pada bunga tidak diperbolehkan untuk bank syariah,” kata IMF.

IMF pun menyoroti kurangnya keseragaman pengembangan perbankan Islam dan terbatasnya jumlah entitas perbankan di antara negara-negara yang mempraktikkannya memberikan kontribusi yang adil bagi pengembangan instrumen manajemen likuiditas Islam. Di antara negara-negara yang mempraktikkan perbankan Syariah, pertumbuhan mata uang digital sebagian besar tidak merata, dengan tingkat adopsi yang tinggi, seperti yang tercatat di Timur Tengah.

Hal yang sama tidak dapat dikatakan untuk negara-negara Islam lainnya seperti Maroko dan Aljazair, yang telah memberlakukan larangan menyeluruh terhadap mata uang digital. Pada tahun 2021, Majelis Ulama Nasional Indonesia (MUI) menyatakan bahwa BTC dan mata uang digital lainnya adalah haram karena mengandung unsur ketidakpastian, pertaruhan, dan kerugian.

Selama ini, proyek uji coba CBDC yang berjalan, baik itu untuk segmen retail maupun grosir, masih ditujukan untuk sistem keuangan konvensional. Sedangkan, dalam sistem keuangan syariah, CBDC yang diberikan remunerasi atau bunga bukan pilihan.

Oleh karena itu, bank sentral, selaku penerbit CBDC, harus mampu merancang mata uang digital yang menggabungkan mekanisme bagi hasil. Hal lain yang harus menjadi fokus regulator setempat adalah dalam sistem keuangan syariah terdapat larangan spekulasi yang menyiratkan bahwa CBDC tidak bisa digunakan untuk transaksi derivatif valuta asing.

Kemudian, risiko disintermediasi bank dalam bank syariah juga akan semakin tinggi, karena CBDC berpotensi mengurangi simpanan nasabah.

“Pasar keuangan syariah meningkatkan risiko bahwa jika simpanan digunakan untuk mendanai CBDC, maka kemampuan bank sentral untuk memitigasi risiko likuiditas bisa menjadi terbatas. Selain itu, bank syariah tidak bisa mengakses layanan likuiditas berbunga yang tersedia di bank konvensional karena adanya prinsip,” tambah IMF.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement