REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Mahfud MD menjelaskan, ada sejumlah alasan yang membuat penyampaian data oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani terkait transaksi mencurigakan terkesan berbeda. Salah satunya adalah baru tahunya Sri Mulyani terhadap laporan dugaan tindak pidana pencucian uang.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sendiri telah memberikan laporan hasil analisis (LHA) yang merupakan agregat dari 2009 sampai 2023. Laporan tersebut diserahkan langsung pada 14 Maret 2023.
"Cuma Bu Sri Mulyani itu menerangkannya begini, kalau PPATK itu kan (memberikan laporan) rombongan nih, misalnya Rafael, itu kan ada rombongannya. Ketika diperiksa oleh Bu Sri Mulyani, (hanya) satu (contoh) yang diambil," ujar Mahfud ketika memberikan jawabannya kepada Komisi III DPR, Rabu (29/3) malam.
Mahfud menjelaskan, tindak pidana pencucian uang pasti melibatkan banyak entitas , tetapi Sri Mulyani hanya mengambil satu contoh saja yang merupakan oknum di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Hal inilah yang membuat data yang disampaikan Sri Mulyani kepada Komisi XI berbeda dengan datanya.
Apalagi terdapat fakta, rupanya Sri Mulyani tak menerima adanya laporan PPATK terkait dugaan tindak pidana pencucian uang di Kemenkeu sejak 2017. Dalam hal ini, ia menduga adanya oknum yang tak menyerahkan laporan tersebut kepada Sri Mulyani.
Kendati demikian, ia menegaskan laporan PPATK yang diterima olehnya dan Sri Mulyani adalah sama. Bahkan, ia akan membagikan data tersebut kepada Komisi III agar didalami terkait dugaan tindakan pencucian uang tersebut.
"Saya jamin anda (Komisi III) semua dapat ini uraian faktanya, tadi sudah saya tayangkan di situ. Itu benar, dijamin 100 persen benar, wong ada tanggalnya kok," ujar Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) itu.
"Cuma kenapa (berbeda yang disampaikan)? Yang saya katakan tadi kalau kita semua melakukan pencucian uang, umpamanya pohon apel gitu diambil satu oleh Bu Sri Mulyani, 'oh ini pajak. Kok perusahaanmu banyak sekali?' Lalu pajaknya yang dihitung, bukan pencucian uangnya," sambungnya.
Mahfud sendiri membagi ke tiga kelompok terhadap LHA PPATK terkait transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun. Pertama adalah transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu.
Nilai transaksi di kategori pertama itu adalah sebesar Rp 35.548.999.231.280. Transaksi tersebut melibatkan 461 entitas dari aparatur sipil negara (ASN) Kemenkeu, 11 entitas dari ASN kementerian/lembaga lain, dan 294 entitas berasal dari non-ASN. "Transaksi keuangan mencurigakan di pegawai Kementerian Keuangan, kemaren Ibu Sri Mulyani di Komisi XI hanya Rp 3 triliun, yang benar 35 triliun," ujar Mahfud.
Kategori kedua adalah transaksi keuangan yang mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pegawai lain. Nilai transaksi di kategori tersebut sebesar Rp 53.821.874.839.402 triliun.
Nilai transaksi tersebut melibatkan 30 entitas dari ASN Kemenkeu. Selanjutnya dua ASN dari kementerian/lembaga lain, dan 54 non ASN. Kategori terakhir adalah transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal dan TPPU yang belum diperoleh data keterlibatan pegawai Kemenkeu. Nilai transaksinya sebesar Rp 260.503.313.306.
Nilai tersebut hanya melibatkan 222 entitas dari non-ASN. "Sehingga jumlahnya sebesar 349 triliun, fix," tegas Mahfud.