REPUBLIKA.CO.ID, Assalamu'alaikum Wr Wb
Pak Quraish, saya ingin bertanya. Seorang anak gemar berutang, tapi lalai membayarnya. Didorong oleh rasa malu dan tanggung jawab, orang tua akhirnya selalu membayarkan utangnya. Ini terjadi berkali-kali. Berbagai nasihat sudah disampaikan, tapi kebiasaan mempermalukan keluarga itu terus berulang. Sebenarnya, menurut Islam, sampai dimana batas tanggungjawab orang tua? Apakah berdosa apabila orang tua tidak lagi menanggung utang-utang anaknya. Bolehkah orang tua mencoret nama anak tak bertanggungjawab itu dari daftar ahli warisnya?. Wassalam
Ummi Fathan
Jawaban Oleh Prof M Quraish Shihab:
Sebenarnya, Rasulullah SAW telah mengingatkan umatnya agar berusaha sedapat mungkin menghindari utang. Utang itu membawa keresahan di waktu malam dan kerendahan diri di siang hari. Karena itu, beliau sering berdoa:
أَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ
'Allahumma Audzubika min ghalabati addain wa qahr ar-rijaal (aku berlindung dari lilitan utang dan pemaksaan manusia).”
Yang berutang mestinya telah menggambarkan dalam benaknya kapan dan dari mana sumber pembayarannya, karena Alquran menegaskan Kalau kamu berutang untuk masa tertentu maka hendaklah kamu menulisnya (QS 2:282).
Anak kalimat untuk masa tertentu dipahami oleh ulama dalam arti tidak boleh menentukan masa yang tidak jelas kapan datangnya. Di sisi lain Rasul SAW bahwa: Jiwa seorang Mukmin yang wafat tergantung oleh utangnya sampai dibayar (HR Attirmizy melalui Abu Hurairah) dalam arti ia tidak akan meraih kedudukannya kecuali setelah utangnya dilunasi.
Bahkan, ada riwayat bahwa Nabi SAW enggan menshalatkan orang yang berutang -jika tak ada yang menanggung utangnya. Setiap orang dewasa menanggung utangnya sendiri. Bukan kewajiban, tetapi semata-mata hanya karena kebaikan, orang lain, termasuk ayah dan keluarga bila menanggungnya.
Karena itu tidak ada dosa bagi ayah atau keluarga bila enggan menanggung utang anak yang dewasa atau keluarganya, apalagi jika ternyata yang bersangkutan tidak jera berutang. Bahwa ini dapat mengantarnya berhubungan dengan yang berwajib atau dihukum bukanlah dalih untuk membayarkan utangnya bahkan boleh jadi itu merupakan cara terbaik untuk mendidiknya sehingga tidak mengulangi perangai buruk itu.
Dengan niat seperti ini, ayah dan keluarga justru dapat memperoleh ganjaran dari Allah SWT. Selanjutnya perlu diketahui bahwa pembayaran utang seseorang yang bakal menjadi ahli waris oleh seseorang yang akan menjadi pewaris, katakanlah pembayaran utang anak oleh ayah, walau berulang-ulang, tidak dapat dijadikan alasan untuk mencabut hak anak memperoleh warisan. Pencatuman namanya di mana pun tidak berlaku, karena dengan kematian siapa pun tidak lagi berhak atas hartanya. Demikian Waallahu A'lam.