Senin 27 Aug 2012 16:34 WIB

Uang 'Bagi Rezeki' yang Kami Terima, Tergolong Suapkah?

Praktek Suap (ilustrasi)
Foto: breakingnewsonline.net
Praktek Suap (ilustrasi)

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Ustaz, saya seorang PNS pada dinas yang melayani penjualan komoditas tambang. Setiap izin kerja dari perusahaan, serta penjualan barang hasil perusahaan, itu selalu melewati instansi tempat saya bekerja.

Setiap selesai mengetikkan beberapa izin atau persyaratan tertentu untuk kepentingan perusahaan, pengusaha memberikan sejumlah uang tertentu. Hal ini berdasarkan kebiasaan mereka sebagai pembagian rezeki pada kami.

Dinas bisa saja menunda memberikan izin bagi mereka untuk menjual hasil tambang. Sehingga mereka akan terkena denda setiap 24 jam tertunda pengiriman barangnya, yang mana jumlah denda itu berkali lipat daripada uang "bagi rezeki" yang diberikan kepada kami. Pertanyaan saya:

1. Apakah uang yang kami terima adalah "suap"?

2. Saya pernah membaca mengenai ju'alah (upah untuk jasa tertentu / tidak tertentu). Bisakah disebut demikian uang yang kami terima?

3. Selama ini saya begitu memanfaatkan uang itu untuk kesejahteraan saya, dan sedikit bagian saya sedekahkan. Saya tidak akan menerima uang itu jika saya tidak berada di bagian tempat saya bekerja sekarang. Lalu, apa yang harus saya lakukan dengan uang itu? Haruskah saya tidak menganggap mendapatkannya?

Jazakumullah khair atas jawabannya. Saya sangat menunggu karena ini berkaitan dengan keberkahan hidup saya. Wassalam.

Neng Preceillia

Jawaban:

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.

Mba Preceillia yang insya Allah dirahmati Allah. 

Pertama, definisi suap menurut Undang-Undang No.3 Tahun 1980 adalah: "Seseorang yang menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum.”

Berdasarkan definisi UU di atas, pemberian sejumlah uang oleh perusahaan kepada dinas tempat mba bekerja dapat dikategorikan suap. Apalagi, jika pemberian tersebut dikaitkan dengan kewenangan dinas yang dapat menunda izin penjualan sehingga mengakibatkan denda kerugian pada perusahaan yang bersangkutan.

Kedua, ju’alah atau upah atas pekerjaan tertentu dibolehkan dalam Islam selama hal itu tidak merugikan dan membahayakan hak orang lain. Namun demikian, upah tadi bisa saja berubah menjadi kategori suap atau risywah, yang sengaja diberikan agar mendapatkan kelancaran dalam satu urusan tertentu. Ditambah lagi, apabila pekerjaan yang dilakukan adalah memang menjadi tugas dan tanggung jawab pegawai bersangkutan yang telah mendapatkan gaji atau upah dari pemerintah. 

Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang kami pekerjakan pada suatu pekerjaan, sedang kami beri dia rizqi maka apa yang dia ambil setelah itu adalah merupakan Ghuluul (Harta yang haram).” (HR Imam Abu Daawud no: 2943 dan Ibnu Huzaimah no: 2369)

Imam Asy Syaukani mengomentari hadis ini, bahwa ia merupakan larangan dari kelebihan yang semestinya diterima oleh seorang pekerja, tanpa ada perbedaan antara shodaqoh dari pemilik harta atau berupa hadiah atau suap.” (Naylul Authar 8/135).

Ketiga, tentu saja yang harus dilakukan adalah tidak menerima pemberian tersebut, sebagai bagian dari upaya mendapatkan harta yang halal dan keberkahan hidup insya Allah.

Wallahu a’lam. 

Wassalaamu'alaikum Wr. Wb.

Salahuddin El Ayyubi

Program Studi Ekonomi Syariah Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB

 Diasuh oleh Program Studi Ekonomi Syariah Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPBFakultas Ekonomi Manajemen IPB 

Kirimkan pertanyaan Anda ke [email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement