Senin 26 Mar 2012 11:00 WIB

Halalkah "Uang Terima Kasih" yang Saya Peroleh?

Praktek Suap (ilustrasi)
Foto: breakingnewsonline.net
Praktek Suap (ilustrasi)

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum wr. wb.

Saya seorang tenaga medis di sebuah rumah sakit swasta. Sejak awal tahun ini, saya mendapat "uang ucapan terima kasih" atau "persenan" dari laboratorium X dan perusahaan farmasi Y, karena telah memakai produk barang/jasanya dalam proses penegakan diagnosis dan terapi, sesuai dengan indikasi medis tentunya.

Menurut mereka, uang tersebut diambil dengan jalan meng-nol-kan diskon untuk produk tertentu, berdasarkan bukti permintaan tertulis yang terkumpul tiap akhir bulan. Masing-masing produk memiliki % diskon yang berbeda, tergantung harga jualnya. Dengan atau tanpa pengantar atau permintaan tertulis dari saya, harga jual produk mereka ke konsumen tetap sama.

Dua bulan terakhir, beberapa perusahaan farmasi malah bersaing memberikan "uang terima kasih" di awal trimester. Jumlahnya tiga kali rata-rata perolehan diskon di bulan-bulan sebelumnya. Harapannya, tiga bulan ke depan saya lebih cenderung menggunakan produk mereka ketimbang produk farmasi yang lain, meski komposisi dan harganyanya hampir sama.

Pertanyaan saya, bagaimana status uang tersebut bagi saya (halal/haram)? Apakah tergolong suap atau gratifikasi? Bila uang tersebut sudah terlanjur diterima, apa yang harus dilakukan? Dikembalikan, jelas tidak mungkin. Jika dipinjamkan atau disedekahkan, bagaimana status uang tersebut bagi penerima pinjaman dan penerima sedekah?

Mohon jawabannya, jazakumullah khair.

Wassalamu'alaikum wr. wb.

Hamba Allah

Jawaban:

Wa'alaikumussalam wr. wb.

Bapak/Ibu penanya yang insya Allah dirahmati Allah.

Pertama, mari kita lihat lebih dulu asal muasal uang tersebut. Berdasarkan penjelasan Bapak/Ibu, uang yang diberikan berasal dari meng-nol-kan diskon yang selayaknya diberikan kepada pembeli. Artinya, diskon tersebut seharusnya menjadi hak pembeli.

Dalam hadist, Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa merampas hak seorang muslim dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan dia masuk neraka dan mengharamkan baginya surga.” Sahabat  bertanya, ”Meskipun hanya sedikit, ya Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab, ”Ya, meskipun hanya setangkai kayu sugi (siwak).” (HR. Muslim)

Kedua, definisi suap menurut Undang-Undang No.3 Tahun 1980 adalah: "Seseorang yang menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum.”

Gratifikasi sendiri didefinisikan sebagai: "Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik."

Berdasarkan kedua definisi di atas, maka pemberian “uang terima kasih” oleh beberapa perusahaan farmasi di awal trimester dengan harapan-harapan tertentu (produk mereka digunakan dibanding produk yang lain), bisa saja kita kategorikan sebagai suap atau gratifikasi sekaligus. Tentu saja, kedua perbuatan tersebut tidak dibenarkan dari sisi Undang-Undang maupun dari aspek agama.

Ketiga, apa yang harus dilakukan jika telah terlanjur menerima uang tersebut? Tindakan paling bijak tentu saja yaitu berusaha untuk mengembalikannya, ketimbang menyedekahkan apalagi sampai meminjamkannya kepada orang lain.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik…” (HR. Muslim)

Bagi penerima pinjaman atau sedekah, sekiranya dia mengetahui asal-usul uang tersebut, maka sudah seharusnya untuk menolak dan tidak memaksakan diri untuk menerima dengan alasan apapun juga. Jika tidak mengetahuinya, keadaan tersebut masuk ke dalam kategori sesuatu yang dimaafkan.

Nabi SAW bersabda, “Sungguh akan datang kepada manusia suatu masa, yaitu seseorang tidak lagi peduli dari mana dia mendapatkan harta, dari jalan halal ataukah (yang) haram.” (HR. Bukhari).

Wallahua'lam bishshowab

Wassalaamualaikum wr. wb.

Laily Dwi Arsyianti

 

 

Diasuh oleh Program Studi Ekonomi Syariah Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPBFakultas Ekonomi Manajemen IPB Kirimkan pertanyaan Anda ke [email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement