Assalamualaikum wr wb
Saya ingin penjelasan mengenai Akad Ijarah dan Hiwalah terutama dari segi pengambilan keuntungan buat lembaganya seperti apa. Insya Allah kalau Akad Murabahah yang ditanyakan oleh Akhi Edi Suhendrawan pada waktu itu saya sudah faham.
Terima kasih
Wassalamualaikum wr wb
Indra
Jl Siliwangi Sukabumi
Jawaban :
Waalaikumsalaam wr wb Pak Indra yang diberkahi Allah,
Akad ijarah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu muajjir (yang menyewakan, yaitu pemilik barang) dengan musta'jir (penyewa barang), dimana muajjir mendapatkan imbalan jasa (ujrah) atas barang yang disewa oleh musta'jir. Obyek kontrak ijarah ini adalah manfaat dari penggunaan aset, dan bukan aset itu sendiri. Dalam konteks perbankan syariah, maka bank bertindak sebagai muajjir dan nasabah sebagai musta'jir. Jadi, keuntungan bagi bank terletak pada nilai sewa yang dibayarkan oleh nasabah. Apabila nasabah diberikan opsi untuk memiliki barang yang disewakan tersebut setelah berakhirnya masa sewa, maka kontrak tersebut disebut dengan al-ijarah wa iqtina atau al-ijarah muntahiyah bit tamlik. Landasan syar'i-nya antara lain sebagaimana yang tercantum dalam QS 2 : 233 dan QS 28 : 26.
Sedangkan akad hiwalah atau hawalah adalah pemindahan atau pengalihan penagihan utang dari orang yang berutang kepada orang yang akan menanggung utang tersebut. Namun demikian, yang dapat ditransfer ini adalah utang finansial, dan bukan utang barang. Menurut Dewan Syariah Nasional MUI, rukun hawalah terdiri atas (i) muhil, yakni orang yang berutang dan sekaligus berpiutang, (ii) muhal atau muhtal, yakni orang berpiutang kepada muhil, (iii) muhal 'alaih, yakni orang yang berutang kepada muhil dan wajib membayar utang kepada muhtal, (iv) muhal bih, yakni utang muhil kepada muhtal, dan (v) sighat (ijab-qabul). Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama menambahkan satu rukun lagi yaitu piutang muhil pada muhal 'alaihi.
Sebagai ilustrasi, A meminjamkan Rp 1 juta kepada B, dan B meminjamkan Rp 1 juta kepada C. Ketika A menagih hutang pada B, maka B mengatakan bahwa ia memiliki piutang pada C, sehingga ia meminta A menagih hutangnya pada C. Tentu saja ketiganya harus menyetujui perjanjian hawalah terlebih dahulu. Dalam konteks ini, A adalah muhal, B adalah muhil dan C adalah muhal alaihi.
Dalam praktik bank syariah, biasanya aplikasi hawalah ini dilaksanakan dalam bentuk factoring/anjak piutang, dimana nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga, memindahkan piutang tersebut kepada bank, sehingga bank akan membayar piutang nasabah di muka dan menagih utang kepada pihak ketiga tersebut. Biasanya bank syariah mendapatkan upah dari proses pemindahan tersebut. Bedanya dengan praktek bank konvensional adalah, bank konvensional membayar nasabah sebesar nilai piutang yang sudah didiskon, dan menagih pada pihak ketiga dengan nilai utang yang penuh. Misal, A memiliki piutang pada B sebesar Rp 1 juta. Kemudian bank konvensional akan membayar A Rp 900 ribu dan menagih pada B sebesar Rp 1 juta. Pihak bank juga meminta biaya administrasi pada A. Transaksi semacam ini dilarang pada bank syariah karena mengandung unsur riba. Sementara pada praktek bank syariah, bank wajib membayar A Rp 1 juta (tanpa diskon), namun bank berhak mengenakan biaya administrasi kepada A sebagai upah untuk penagihan piutang pada B. Wallahu'alam.
Wassalaamualaikum wr wb
Irfan Syauqi Beik
Program Studi Ekonomi Syariah, Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB